Tuesday, September 22, 2015

Sejarah Bioskop di Nusantara : Bioskop Medan dan Jakarta

#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Sejarah Bioskop Nusantara ; Medan dan Jakarta
sekaligus memaknai lagu Lirik Lagu ke Bina Ria oleh Titiek Sandhora & Muchsin )
______________________________________________________________________









___________________

Kata Pengantar
__________________

Malam ini penulis berbicara atau ngorol dengan si Boru Angin (Istri)
mengenai Bioskop di Medan sekitar Tahun 80'an. Katanya pada masa itu
bioskop di Medan selalu penuh penonton setiap jam tayang Film.
Karena itu tidak heran jika pada saat pengambilan karcis antriannya
sangat panjang.

Katanya nama-nama bioskop yang populer, al :

1. Ria (Jl. Pokok dekat Rel itula, lupa mama yah)
2. Riang (Jl. Pandu)
3. Kesuma, (Jl. Tak begitu jauh dari bioskop Ria)
4. Mayestik (Jl. Lupa mama yah)
5. Golden (Jl. Ke arah Jl. Binjai)
6. Olimpia (Jl. apa itu ya, sungai kerah kali yah, dekat tugu tuh)
7. City, Jl. Surabaya

Para kawan dimanapun berada...!

"Bagaimana sebenarnya Sejarah Bioskop di Nusantara ini, khsusnya
untuk Kota Jakarta yang dengan sendirinya mewakili sejarah
bioskop Nusantara dan Kota Medan" adalah isi dari postingan ini
sebagai pendalaman info hasil diskusi penulis sama istri.

Selamat menyimak...!
____________________________________________________________

Sekilas Sejarah Bioskop di Nusantara (Jakarta)
____________________________________________________________

* Bioskop pertama Th.1900



















Ket :
Bioskop Menteng, Jakarta (ca. 1950-1960)

























Ket :
Bioskop Megaria, Jakarta (ca. 1960-80)

Bioskop pertama di Indonesia berdiri pada Desember 1900, di Jl Tanah Abang I,
Jakarta Pusat, karcis kelas I harganya dua gulden (perak) dan harga karcis
kelas dua setengah perak.

Bioskop zaman dulu bermula di sekitar Lapangan Gambir (kini Monas).
Bangunan bioskop masa itu menyerupai bangsal dengan dinding dari gedek
dan beratapkan kaleng/seng.

* Bioskop di bawa-bawa

Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa keliling
ke kota yang lain. Bioskop ini di kenal dengan nama Talbot (nama dari
pengusaha bioskop tsb).

Bioskop lain diusahakan oleh seorang yang bernama Schwarz. Tempatnya
terletak kira-kria di Kebon Jahe, Tanah Abang. Sebelum akhirnya hancur
terbakar, bioskop ini menempati sebuah gedung di Pasar Baru.

Ada lagi bioskop yang bernama Jules Francois de Calonne (nama
pengusahanya) yang terdapat di Deca Park. De Calonne ini mula-mula
adalah bioskop terbuka di lapangan, yang pada zaman sekarang disebut
"misbar", gerimis bubar. De Calonne adalah cikal bakal dari bioskop
Capitol yang terdapat di Pintu Air.

Bioskop-bioskop lain seperti, Elite di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder,
Cinema di Krekot, Astoria, Capitol di Pintu Air, Centraal di Jatinegara,
Rialto di Senen dan Tanah Abang, Surya di Tanah Abang, Thalia di Hayam
Wuruk, Olimo, Orion di Glodok, Al Hambra di Sawah Besar, Oost Java di
Jl. Veteran, Rembrant di Pintu Air, Widjaja di Jalan Tongkol/Pasar Ikan,
Rivoli di Kramat, Chatay di jl gunung sahari dan lain-lain merupakan
bioskop yang muncul dan ramai dikunjungi setelah periode 1940-an.

* Kondisi Film (Tanpa suara)

Film-film yang diputar di dalam bioskop tempo dulu adalah film gagu
alias bisu atau tanpa suara. Biasanya pemutaran di iringi musik orkes,
yang ternyata jarang "nyambung" dengan film. Beberapa film yang kala
itu yang menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom MIx,
Edi Polo, Charlie Caplin, Max Linder, Arsene Lupin, dll.

Di Jakarta pada tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang berkapasitas
1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot,
bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas.

Pada tahun 1955 bioskop Indra di Yogyakarta mulai mengembangkan
kompleks bioskopnya dengan toko dan restoran.

* Masa Orde baru

Di Indonesia awal Orde Baru dianggap sebagai masa yang menawarkan
kemajuan perbioskopan, baik dalam jumlah produksi film nasional maupun
bentuk dan sarana tempat pertunjukan.

Kemajuan ini memuncak pada tahun 1990-an. Pada dasawarsa itu produksi
film nasional 112 judul. Sementara sejak tahun 1987 bioskop dengan
konsep sinepleks (gedung bioskop dengan lebih dari satu layar) semakin
marak. Sinepleks-sinepleks ini biasanya berada di kompleks pertokoan,
pusat perbelanjaan, atau mal yang selalu jadi tempat nongkrong anak-
anak muda dan kiblat konsumsi terkini masyarakat perkotaan.

Di sekitar sinepleks itu tersedia pasar swalayan, restoran cepat saji,
pusat mainan, dan macam-macam.

Sinepleks tidak hanya menjamur di kota besar, tetapi juga menerobos
kota kecamatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan
masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada "bioskop
depan". Akibatnya, pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai puncak
kejayaan: 3.048 layar.

* Jumlah Layar di Indonesia 1987-an

Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar.
Era 2000-an

Sekitar tahun 2000an, jaringan bioskop mulai marak di Indonesia.
Ada dua pengelola bioskop yang terkenal, yaitu 21 Cineplex dengan
bioskop 21, XXI dan The Premiere serta jaringan Blitzmegaplex.

Bioskop-bioskop ini tersebar di seluruh pusat perbelanjaan di Indonesia,
kadang-kadang dalam satu pusat perbelanjaan terdapat lebih dari satu
bioskop. Film yang ditayangkan adalah film dari dalam maupun luar
negeri, meskipun pada awal tahun 2000 hingga sekitar tahun 2005,
tidak banyak perfilman nasional yang berhasil masuk jaringan bioskop.
Film-film nasional baru masuk kedalam bioskop Indonesia sejak tahun
2006 hingga sekarang.
___________________________________________

Sekilas Sejarah Bioskop di Kota Medan
___________________________________________

* Pertam ada 1920 (Film tanpa Suara)

Menacu pada wikipedia Indonesia, maka dapat dikatakan kurang lebih 20
Tahun setelah ada Bisokop pertama di jakarta, maka Medan-pun memliki
bioskop.




















Ket :
Bioskop di Medan 1920

* Pertama ada 1940 (Film bersuara)

Para kawan dimanpun berada...!

Situs dengan alamat :
http://medanlook.blogspot.co.id/2015/03/bioskop-di-medan-dari-masa-ke-masa.html
memberikan gambarannya sbb :

 Kegiatan Apresiasi Film Indonesia ke-3  digelar di Istanan Maimun,
13 September lalu, berjalan sukses menyedot perhatian insan film dan
masyarakat Kota Medan. Salah satu stand yang ramai dikunjungi di event
ini, adalah stand tentang sejarah perkembangan perfilman di Kota Medan.
Di stand ini, pengunjung bisa
mengamati bagaimana sejarah perkembangan perfilman di Kota Medan.

















Ket :
Bioskop Ria Medan Tempoe Doleloe

Dari berbagai sumber diperoleh, film ternyata sudah mulai  diputar di
Kota Medan, sejak tahun 1940-an, semasa kedudukan kolonial. Film yang
pernah diputar kala itu, yakni Loetoeng Kasaroeng, Eulis Atjih, Lily
Van Java, Resia Boroboedoer,  Setangan Berloemoer Darah, Njai  Dasima,
Rampok Preanger, Si Tjonat dan De Stem Des Bloed (njai siti).
Kemunculan film di Medan kala itu juga menjadi awal kemunculan
bioskop di Kota Medan.

Fanny Handayani, ketika masih kuliah di Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara (USU), pernah menulis Sejarah Bioskop di Kota Medan,
sebagai sekripsinya. Dari penggalian data yang dilakukannya dari
berbagai sumber, bioskop ternyata sudah berkembang di Kota Medan
sejak  tahun 70-an, dengan hadirnya Bioskop Deli, Riix Bioskop,
Bioskop Capitol, Bioskop Morning, Orion Bioskop, Riu Bioskop,
Bioskop Medan, Caty Bioskop, Orange Deli Bioskop dan Olimpia Bioskop.

Saat itu kondisi gedung bioskop masih sederhana dan tidak luas. Namun
demikian, kehadiran bioskop berhasil menarik perhatian masyarakat
pada masa itu. Bahkan, bioskop tidak pernah sepi dari penonton.

Sementara di tahun 80-an, bioskop  sudah berdiri di lahan sendiri
dan tidak bergabung dengan bangunan lainnya. Bioskop juga telah
memulai membuat iklan tentang penayangan jam tayang dan juga melakukan
tayangan perdana bagi film-film baru yang ditayang pada tengah malam.





















Dengan diadakannya iklan dan pemutaran perdana membuat masyarakat
penasaran dan akhirnya berbondong-bondong datang ke bioskop.

"Kalau pada tahun 1990-an kita lebih mengenalnya dengan kata
midnight, harga tiketnya yang dijual juga berbeda karena film baru
yang ditayangkan jadi harga tiket jadi lebih mahal," ungkap Fanny
Handayani.

Fanny Handayani, menyebutkan, di tahun 80-90-an bioskop banyak
memutar film asing, seperti film Tamil atau film India, film Barat
dan Film Malaysia. Film-film ini juga disaingi oleh film-film nasional.

Berbeda seperti saat ini, gedung bioskop dikombinasikan dengan
keberadaan pusat perbelanjaan seperti mall. Namun, seiringnya waktu
dan semakin ketatnya persaingan, bioskop lama secara berlahan-lahan
akhirnya banyak berhenti beroperasi.

Menurut Fanny Handayani, maju mundurnya dunia perbioskopan di Indonesia
lebih disebabkan persaingan oleh perkembangan dunia televisi dan
teknologi.

Televisi mulai banyak digunakan masyarakat umum sehingga mengurangi
intensitas masyarakat untuk datang nonton film ke bioskop, apalagi
beberapa film sudah mulai sering diputar di televisi.

"Bagaimanapun juga bioskop telah memiliki paranan yang cukup penting
bagi perkembangan dunia perfilman di Indonesia, karena bioskop
merupakan salah satu wadah untuk memperkenalkan film-film Indonesia
pada masyarakat umum," pungkasnya.

__________________________________

Penutup dan Makna Lagu Ke Bina Ria
__________________________________

Demikian infonya para kawan...!

Semoga dapat memperluas wawasan kita khsusnya dibidang Sejarah
Bioskop Nusantara dengan fokus bioskop-bioskop Kota Medan.
Dan kepopuleran bioskop masa lalu ini telah sama kita ketahu
diangkat juga dalam salah satu karya seni musik dengan judul
ke "Bina Ria".

Musik...!


Situs dengan alamat :
http://www.kompasiana.com/asahasibuan/makna-tersirat-dari-lagu-ke-binaria_54f84408a333112a608b516c
berkomentar mengenai lagu ini :

Saya pernah mendengar sebuah lagu yang dipopulerkan oleh pasangan Titiek
Sandhora dengan Muchsin Alatas-“ke Binaria”. Lagu ini adalah Tanya jawab
Antara dua orang remaja yang sedang menjalin hubungan pacaran layaknya
muda-mudi di zamannya. Sekilas tidak ada yang istimewa dari lagu ini.

Apalagi dibandingkan dengan perkembangan musik saat ini, musik ini tidak
lebih dari hiburan semata. Namun, perlu digaris bawahi bahwa ada makna
tersirat di dalamnya yang menggambarkan perintah berbakti kepada orangtua
itu lebih utama dibandingkan kesenangan sesaat. Coba kita perhatikan
lirik lagu “Ke Binaria” di bawah ini:


KE BINARIA

Pria (1)

Ke manakah sayang tujuan kita pergi
Bergembira malam ini
Bergembira malam ini
Wanita(2)
Terserah padamu ke mana engkau mau
Bilang dulu sama Ibu
Bilang dulu sama Ibu
Pria(3)
Bagaimana kalau kita ke Binaria
Banyak pengunjungnya melantai di sana
Wanita(4)

Dengan hati rela ku pergi bersama
Tapi jangan lupa kembali segera
Duet (5)
Marilah bersama kita ke Binaria
Bergembira malam ini
Bergembira malam ini

erlihat jelas pada jawaban si wanita (paragraph 2) bahwa restu
orangtua masih menjadi alat ukur. Kata-kata Ibu masih menjadi
patokan. Si Pria boleh saja dengan rencananya tapi jika tidak
ada restu dari orang tua, si wanita tidak akan beranjak dari rumah.

Para kawan dimanapun berada...!

Bagaiman menurut anda dengan keadaan sekarang ini, apakah
para anak putra-putri akan setaat yang digambarkan oleh
lagu di atas dalam hubungannya dengan ke bina ria atau
ketempat lainnya yang sifatnya adalah hiburang.

Apakah mereka membilangnnya sama orang tuanya...?

Selamat malam...!


____________________________________________________________________________
Cat :
http://www.researchgate.net/publication/43605471_Sejarah_Bioskop_Di_Kota_Medan
http://filmindonesia.or.id/theater#.VgAWbH2UFWo

cara membuat link pada gambar cara membuat link pada gambar cara membuat link pada gambar cara membuat link pada gambar PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork cara membuat link pada gambar cara membuat link pada gambar cara cara membuat link pada gambar cara membuat link pada gambar

No comments:

Post a Comment