Monday, January 30, 2017

Kimono : Sejarah dan Cara membuatnya / History and How to create a kimono



#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info tentang Sejarah Kimono Jepang dan Cara
pembuatannya)
_____________________________________________________________________












___________________

Kata Pengantar
___________________

Lewat link :
.http://galeri6msad.blogspot.co.id/2016/06/tenun-taradisional-india-sari-india-dan.html
penulis mengurai mengenai pakaian Sari india.

Bagaimana dengan pakaian Jepang yang disebut Kimono...?

berikut info kelengkapannya para kawan dalam iringan
animasi cara membuat Tenun / Motif Kimono

...dan...

Selamat menyimak...!

_________________________________________

Sekilas info tentang Kimono
_________________________________________



















* Pengertian

Kimono (???) adalah pakaian tradisional Jepang. Arti harfiah
kimono adalah baju atau sesuatu yang dikenakan (ki berarti
pakai, dan mono berarti barang).

Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf "T", mirip
mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang kimono dibuat
hingga ke pergelangan kaki.

* Kimono Wanita 










Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara
pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan
harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang
disebut obi dililitkan di bagian perut/pinggang, dan diikat
di bagian punggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono
adalah zori atau geta.

Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada
kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan
sejenis kimono yang disebut furisode.

Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh
lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakan
furisode untuk menghadiri seijin shiki.

Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum
teh, dan acara formal lainnya. Ketika tampil di luar arena
sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono.

Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-
Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri
jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional
(ryotei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).

* Pakaian Pengantin

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome isho)
terdiri dari furisode dan uchikake (mantel yang dikenakan
di atas furisode). Furisode untuk pengantin wanita berbeda
dari furisode untuk wanita muda yang belum menikah.

Bahan untuk furisode pengantin diberi motif yang dipercaya
mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang.

Warna furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan
furisode biasa. Shiromuku adalah sebutan untuk baju
pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna
putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.

* Perbedaan dengan Pakaian Barat








Sebagai pembeda dari pakaian Barat (yofuku) yang dikenal
sejak zaman Meiji, orang Jepang menyebut pakaian tradisional
Jepang sebagai wafuku (???, pakaian Jepang). Sebelum
dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang
Jepang disebut kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah
gofuku (???). Istilah gofuku mulanya dipakai untuk menyebut
pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go)
yang tiba di Jepang dari daratan Cina.


______________________________________-

Sejarah Kimono Jepang
______________________________________

* Zaman Jomon dan zaman Yayoi

Pakaian wanita pada sekitar tahun 1870
Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk seperti baju
terusan. Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang zaman
Jomon ditemukan haniwa. Pakaian atas yang dikenakan haniwa
disebut kantoi (????).

Dalam Gishiwajinden (buku sejarah Cina mengenai tiga negara)
ditulis tentang pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai
kain diselempangkan secara horizontal pada tubuh pria
seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di
kepala. Pakaian wanita dinamakan kantoi.

Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala.
Tali digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko
dari Yamataikoku (sebutan zaman dulu untuk Jepang) "
selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih". Serat
rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara
orang berpangkat mengenakan kain sutra.

* Zaman Kofun







Pakaian zaman Kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan
terdiri dari dua potong pakaian: pakaian atas dan pakaian
bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai
menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah berupa rok yang
dililitkan di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat
pakaian berupa celana berpipa lebar seperti hakama.

Pada zaman Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian
depan kantoi dibuat terbuka dan lengan baju bagian bawah
mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju atas
terdiri dari dua jenis kerah:

Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)
Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan
di bagian dada.

* Zaman Nara

Aristokrat zaman Asuka bernama Pangeran Shotoku menetapkan
dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (kan-i junikai).

Pejabat istana dibedakan menurut warna hiasan penutup kepala
(kanmuri). Dalam kitab hukum Taiho Ritsuryo dimuat peraturan
tentang busana resmi, busana pegawai istana, dan pakaian
seragam dalam istana. Pakaian formal yang dikenakan pejabat
sipil (bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak.

Pejabat militer mengenakan pakaian formal yang tidak dijahit
di bagian bawah ketiak agar pemakainya bebas bergerak.

Busana dan aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi budaya
Cina yang masuk ke Jepang. Pengaruh budaya Dinasti Tang
ikut memopulerkan baju berlengan sempit yang disebut
kosode untuk dikenakan sebagai pakaian dalam.

Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan
kimono. Kalau sebelumnya kerah bagian kiri harus berada
di bawah kerah bagian kanan, sejak zaman Nara, kerah bagian
kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri.

Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan
hingga kini. Hanya orang meninggal dipakaikan kimono
dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.

* Zaman Heian

Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman
utusan Jepang untuk Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan
budaya lokal. Tata cara berbusana dan standardisasi protokol
untuk upacara-upacara formal mulai ditetapkan secara resmi.

Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya tata busana
zaman Heian. Wanita zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-
lapis yang disebut junihitoe. Tidak hanya wanita zaman Heian,
pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak praktis.

Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:

Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit
lebih ringan dari sokutai) Noshi (pakaian untuk kesempatan
pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).

Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut suikan atau
kariginu (???, arti harafiah: baju berburu). Di kemudian
hari, kalangan aristokrat menjadikan kariginu sebagai
pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan samurai.

Pada zaman Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan
samurai, dan bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik.
Pakaian yang dulunya merupakan simbol status bangsawan istana
dijadikan simbol status kalangan samurai.

* Zaman Kamakura dan zaman Muromachi







Pada zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan
samurai. Samurai mengenakan pakaian yang disebut suikan.

Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi pakaian yang
 disebut hitatare. Pada zaman Muromachi, hitatare
merupakan pakaian resmi samurai. Pada zaman Muromachi dikenal
kimono yang disebut suo (???), yakni sejenis hitatare yang
tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suo adalah
lambang keluarga dalam ukuran besar di delapan tempat.

Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut
mo (??) makin pendek sebelum diganti dengan hakama. Setelan
mo dan hakama akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono
model terusan, dan kemudian kimono wanita yang disebut kosode.

Wanita mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di sekitar
pinggang (koshimaki) dan/atau yumaki. Mantel panjang yang
disebut uchikake dipakai setelah memakai kosode.

* Awal zaman Edo

Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian
samurai zaman Edo adalah setelan berpundak lebar yang disebut
kamishimo (??).

Satu setel kamishimo terdiri dari kataginu (???) dan hakama. Di
kalangan wanita, kosode menjadi semakin populer sebagai simbol
budaya orang kota yang mengikuti tren busana.

Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan
cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishiki-e atau
ukiyo-e mendorong makin banyaknya lukisan pemeran kabuki yang
mengenakan kimono mahal dan gemerlap. Pakaian orang kota pun
cenderung makin mewah karena iking meniru pakaian aktor kabuki.

Kecenderungan orang kota berpakaian semakin bagus dan jauh dari
norma konfusianisme ingin dibatasi oleh Keshogunan Edo. Secara
bertahap pemerintah keshogunan memaksakan kenyaku-rei, yakni
norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal
karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung.

Tradisi upacara minum teh menjadi sebab kegagalan kenyaku-rei.
Orang menghadiri upacara minum teh memakai kimono yang terlihat
sederhana namun ternyata berharga mahal.

Tali pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai
dikenal sejak zaman Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai
aksesori sewaktu mengenakan kimono.

* Akhir zaman Edo









Politik isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra.
Kimono mulai dibuat dari benang sutra produksi dalam negeri.

Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis crape lebih murah.
Setelah terjadi kelaparan zaman Temmei (1783-1788), Keshogunan
Edo pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono
dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain katun atau
kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal
dari furisode populer di kalangan wanita.

* Zaman Meiji dan zaman Taisho

Industri berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat,
dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra
tidak lagi mahal, dan mulai dikenal berjenis-jenis kain sutra.

Peraturan pemakaian benang sutra dinyatakan tidak berlaku.
Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis
kain sutra. Industri pemintalan sutra didirikan di berbagai
tempat di Jepang.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri pemintalan,
industri tekstil benang sutra ikut berkembang. Produknya
berupa berbagai kain sutra, mulai dari kain krep, rinzu,
omeshi, hingga meisen.

Tersedianya beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan
berkembangnya teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai
dikenal teknik yuzen, yakni menggambar dengan kuas untuk
menghasilkan corak kain di atas kain kimono.

Sementara itu, wanita kalangan atas masih menggemari kain sutra
yang bermotif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit
dan halus. Mereka mengenakan kimono dari model kain yang sudah
populer sejak zaman Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu
menghadiri acara istimewa. Hampir pada waktu yang bersamaan,
kain sutra hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan
mulai disukai orang.

Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke
Jepang, penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian Barat.

Sejak itu pula, istilah wafuku dipakai untuk membedakan
pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian
dari Barat. Ketika pakaian Barat mulai dikenal di Jepang,
kalangan atas memakai pakaian Barat yang dipinjam dari
toko persewaan pakaian Barat.

Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono
dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun
demikian, orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika
keindahan tradisional tidak menjadi terpengaruh. Orang kota
tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi yang
dipelihara sejak zaman Edo.

Sebagian besar pria zaman Meiji masih memakai kimono untuk
pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana formal pria
juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih
mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita
yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.

Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas
militer. Seragam tentara angkatan darat menjadi model untuk
seragam sekolah anak laki-laki. Seragam anak sekolah juga
menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan
tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah
seragam tentara.

Pada akhir zaman Taisho, pemerintah menjalankan kebijakan
mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti dari
andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian Barat yang
disebut serafuku (sailor fuku), yakni setelan blus mirip
pakaian pelaut dan rok.

* Zaman Showa







Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk
penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut
kokumin fuku (seragam rakyat). Wanita dipaksa memakai monpei
yang berbentuk seperti celana panjang untuk kerja dengan
karet di bagian pergelangan kaki.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, wanita Jepang mulai
kembali mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena
tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono,
pakaian Barat dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.

Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai
wanita Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu,
kepopuleran kimono terangkat kembali setelah diperkenalkannya
kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman itu menyukai
kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai.

Setelah kimono tidak lagi populer, pedagang kimono mencoba
berbagai macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan
kimono.

Salah satu di antaranya dengan mengeluarkan "peraturan mengenakan
kimono" yang disebut yakusoku. Menurut peraturan tersebut, kimono
jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu.

Maksudnya untuk mendikte pembeli agar membeli sebanyak mungkin
barang. Strategi tersebut ternyata tidak disukai konsumen, dan
minat masyarakat terhadap kimono makin menurun. Walaupun pedagang
kimono melakukan promosi besar-besaran, opini "memakai kimono
itu ruwet" sudah terbentuk di tengah masyarakat Jepang.

Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian
santai di rumah. Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah
masih bisa dilihat dalam berbagai manga terbitan tahun 1970-an.

Namun sekarang ini, kimono tidak dikenakan pria sebagai pakaian
di rumah, kecuali samue yang dikenakan para perajin.


____________

Penutup
____________


Demikian infonya para kawan sekalian...!

...dan...

Selamat menyimak...!








___________________________________________________________
Cat :
??????????-how to make Kimono (?? - ????) ???? ?? - YouTube
https://www.youtube.com/watch?v=wgypycnaE1Y










No comments:

Post a Comment